AGAMA DAN KESEHATAN MENTAL
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR
BELAKANG
Terapi agama merupakan suatu upaya yang di lakukan
manusia untuk menyembuhkan penyakit jiwa melalui jalur keagamaan. Dalam ilmu
kesehatan terdapat dua cara mengatasi penyakit kejiwaan tersebut, yang pertama
yakni somoterapi atau dalam pengertian pengobatan yang di lakukan secara fisik
yang berupa obat-obatan. Kedua yaitu psikoterapi yakni pengeobatan yang di
lakukan bukan hanya pada pengobatan fisik saja, melainkan pengobatan ini di
lakakukan terhadap kejiwaan (mental emosi) dengan metode psikologi[1].
Terapi jenis ini menjadi pacuan terakhir sebagaia solusi agama terhap
probelamatika kejiwaan manusia.
Psikologi agama terdiri dari dua kata yang memiliki
pengertian yang berbeda. Secara umum psikologi merupakan sebuah ilmu yang
kejiwaan baik itu gejala-gejala, proses, maupun latar belakangnya[2].
Menurut Robet Thuliss, psikologi secara umum di pergunakan untuk ilmu yang mempelajari
tingkah laku dan juga pengalaman manusia[3]
B.
Rumusan Masalah
1.
Dapat
mengetahui pengertian perbedaan agama dan kesehatan mental
2.
Bisa
membedakan hubungan agama degan kesehatan mental
3.
Mengetahui
penyakit kejiwaan dan juga mental
4.
Mengetahui
penyakit-penyakit kejiwaan
5. Dapat mengetahui hubungan agama dan kesehatan mental
BAB II
PEMBAHASAN
A. PENGERTIAN AGAMA DAN KESEHATAN MENTAL
1. PENGERTIAN
AGAMA
Agama adalah
sebagai bentuk keyakinan yang berpijak pada suatu kodrat ke pada kejiwaan, sehingga
kuat atau lemahnya agama tersebut tergantung ke pada seberapa jauh dan seberapa
dalam keyakinan seseorang tersebut terhadap apa yang ia yakini[4].
Agama sebagai sebagaia sumber keyakinan sangatlah sulit untuk di ukur secara
tepat dan juga rinci. Hal ini pula yang menyulitkan para ahli
mengidentifikasikan secara tepat tentang agama. J.H Leuba dalam bukunya
menjelaskan yang berjudul A Psychological
Study of Relegion telah menulis lebih 48 defenisi agama yang di berikan
oleh para ahali, namun hal itu tidak memuaskannya[5].
Apapun kepercayaan yang di anggap sebagai agama,
memeng meiliki ciri khusus yang hampir sama. Namun, menurut Robert H Thouless,
fakta menunjukkan bahwa agama berpusat pada tuhan atau dewa-dewa yang mereka
percayai.
Kesadaran keagamaan (beragama) di artikan sabagai
sebagian yang hadir pada pikiran dan dapat di uji melalui intropeksi dengan
kata lain, kesadaran keagamaan merupakan aspek mental dan aktifitas keagamaan
(beragama) seseorang. Sedangkan pengalamn keagamaan (beragama) di artikan
sebgai perasaan yang membawa ke pad keyakinan yang di hasilklan oleh tindakan.
Adapun menurut Jalaludin dan Ramayulis ialah sebagai
ilmu jiwa yang khusus mempelajari sikap dan tingkah lalku seseorang yan gtimbul
dari keyakinan yang di anutnya berdasarkanpendekatan psikologi. Sedangkan
Thouless memebatasinya sebagai ilmu jiwa yang memusatkan perhatian dan perilaku
keagamaan dengan mengaplikasikan prinsip-prinsip psikologi yang di pungut dari
studi tingkah laku non-relijius.
Bila di cermati bahwa psikologi agama menitik pada
aspek pengaruh, shingga wajar bila ada yang menyebut psikologi agama sebagai
ilmu berpengaruh. Ini berarti objek kajian psikologi agama
bukan ajaran agama, melainkan pengaruh keagamaan. Psikologi agama hanya
mempelajari bagiaman pengaruh agama ataua kepercayaan ideology manusia terhadap
seluruh kepribadiannya.
2.
Pengertian kesehatan mental
Kesehatan mental merupakan terwujudnya keserasian
yangsungguh-sungguh antar fungsi- fungsi kejiwan dan terciptanya penyesuaian
diri antara manusia dengan dirinya sendiridan lingkungannya, berdasarkan
keimanan dan ketaqwaan, serta bertujuan untuk mencapai hidaup yang bermakna dan
bahagia di dunia dan di akhirat.
Kesehatan mental sebagai salah satu cabang ilmu jiwa
yang telah di kenal sejak abad ke 19, seperti Jerman pada tahun 1875 M, orang
telah mengenal kesehatan mental sebagai ilmu walaupun dalam bentuk sederhana.
Mustafa Fahmi mengemukakan, sebagaimana yang telah di
kutip oleh Muhammad Mahmud, menemukan dua pola factor yang mendefenisikan kesehatan mental: pertama, pola negative (salabiyah), bahwa kesehatan mental
merupakan terhindarnya seseorang dari gejala neurosis (al-amaradh al’ashabiyah) dan psikologi (al-amaradh al-dzibaniyah). Kedua , pola positive (ijabiyah), bahwa kesehatan mental ialah
kemampuan individu dalam penyesuain terhadap diri sendiri dan lingkungan
sosialnya. Pola kedua ini lebih umum dan lebih luas di bandingkan dengan pola
pertama.
Dengan demikian psikologi agama merupakan cabang psikologi
yang meneliti dan juga mempelajari tingkah laku manusia dalam hubungannya
dengan pengaruh keyakinan terhadap agama yang di anutnya serta dalam kaitannya
dengan perkembangan usia masing-masing. Upaya untuk mempelajari tingkah laku
keagamaan tersebut di lakukan melalui pendekatan psikologi.
B.
HUBUNGAN AGAMA DAN PENYAKIT JIWA
1.
Hubungan agama dengan kesehatan mental
Dalam ilmu kedokteran di kenal dengan istilah
“psikosomatik” (kejiwabadanan).
Dimasukkan dengan istilah tersebut adalah untuk menjelaskan bahawa,
terdapat hubungan yang erat antara jiwa dan juga badan. Jika jiwa berada
dalam kondisi yang kurang normal seperti susah, cemas, gelisah da sebagainya,
maka badan turut menderita.
Beberapa
penemuan di bidang kedokteran di jumpai kasus yang membuktikan adanya hubungan
tersebut, jiwa (pysce) dan badan (soma). Orang yang merasa takut ,
langsung kehilangan nafsu makan atau susah buang air. Dan istilah makan hati
berulam jantung merupakan cerminan tentang adanya hubungan antara jiwa dan
badan sebagai hubungan timbal balik, jiwa sehat badan segar dan badan sehat
jiwa normal.
Sejumlah
beberapa factor adanya hubungan keyakinan dengan kesehatan jiwa atau mental
tampaknya sudah di sadari oleh ilmuan beberapa abad yang lalu. Seperti yang di
kemukakan oleh Carel Gustav Jung “di antar pasien say yang setengah baya, tidak
seorang pun penyakit kejiwaannya yang tidak di latar belakangi oleh aspek
agama.
Dalam kasus serupa juga di kemukakan bahwa banyak di
jumpai buku yang mengungkapkan betapa
eratnya hubungan agama dan juga penyakit kejiwaan. Di Indonesia sendiri dua
buku yang di terbitkan dengan jugau “Peranan
Agama dan Kesehatan Mental” oleh Zakiah Darajat dan “Agama dan Kesehatan Mental Jiwa” yang di susun oleh Aulia, yang
membahas sejumlah kasus yang menghubungkan adanya hubungan antara kesehatna
jiwa dan agama.
Salah satu cabang ilmu kejiwaan yang tergolong dalam
psikologi Humanistika di kenal logoterapi (logos berarti makna dan juga
rohani). Logoterapi di landasi falsafah hidup dan wawasan mengenai manusia yang
mengakui adanya di mensi spiritual di samping dimensi biologis, dimensi
psikologis, dan dimensi kehidupan pada manusia. Karena bagaimanpun manusia
memiliki keadaan tanpa daya, manusia akan kehilangan pegan, bersikap pasrah.
Dalam hal ini ajaran agama paling tidak akan membangkikan makna dalam
kehidupannya.
2.
Hubungan agama dan tasawuf
Tasawuf merupakan penghayatan keagamaan yang esoterik
yang bersifat religious, karena tasawuf berasal dari ajaran agama. Oleh karena
itu , pembenaran terhadap suatu ajaran menjadi syarat bagi kajian tasawuf.
Sedangkan psikologi agama hanya akan membatasi kajiannya
pada prinsip psikologis saja. Psikologi agama tidak membahas salah atau
benarnya agama, kebenaran yang di cari psikologi agama bukan kebenaran teologis
maupun kebenaran fiqih, melainkan kebenaran psikologis. Dalam melihat uraian di atas tampak jelas bahwa secara
esensial kedua ilmu tersebut tidak memiliki hubungan secara langsung. Namun hal
itu tidak tertutup kemungkinan terjadi hubungan antara keduanya. Bila di teliti
lebih cermat lagi, ternyata ada ketertarikan ilmu tersebut. Tasawuf dan
psikologi agama sama-sama berpijak pada kajian mengenai kejiwaan manusia.
Bedanya hanya terletak pada metode pengajiannya.
Psikologi agama tidak mengkaji tasauf dari segi ajaran
dan ritus-ritusnya, akan tetapi hanya mengkaji bukti-bukti empiric ketasawufan
seseorang. Maka wajar, jika psikologi agama tidak melibatkan diri dalam
pembelaan ataupun penyangkalan terhadap hasil penghayatan para sufi. PSikologi
agama hanya mengungkapkan pengaruh ajaran tasawuf terhadap keperibadian
manusia.
Dari keterangan di atas dapat di ketahui hubungan
agama dan psikologi tasawuf terletak pada objek penelitian. Psikologi agama
mengadakan hubungan dengan tasawuf karena mempunyai kepentingan sebagia objek
penelitian. Kesadaran dan pengalaman keagamaan yang mendalam banyak di temukan
dalam ajaran tasawuf, bahkan Nincholson mengatakan : Sufism is the of religious experiences artinya sufisme adalah suatu
bentuk pengalaman keagamaan.
3.
Hubungan agama dalam mengatasi krisis spiritual
Menurut Kamarudin Hidayat salah satu akibat
memuncaknya rasionalisme dan teknologi zaman modern ini adalah presepsi dan
apresiasi tentang tuhan dan kebertuhanan tidak lagi mendapat tempat yang
terhormat. Kecendrungan seperti ini sering juga di anggap sebagai perkembangan
logis dan lajunya proses sekularisasi artinya penolakannya bukan
padainstitusional, seperti persoalan agama dan Negara, melainkan proses
terhadap pikiran manusia. Dengan hilangnya batasan-batasan yang di anggap dan
di yakini sebagai abstral dan absolute, manusia hanya berputar-putar dalam
dunia yang serba relative, terutama dalam system nilai dan juga moralitas yang
di bangunnya.
Seyyed Hossen Nashr juga mengatakan bahwa fenomena dan
kondisimasyarakat yang telah berada di luar kesadaran manusia itu sendiri di
anplogi sebagai “manusia telah berada di luar lingkaran eksistensinya”. Dalam
beberapa dekade terakhir ini semakin banyak orang yang tertarik untuk melihat
kembali ajaran-ajaran agama karena situasi-situasi yang menyimpang. Di sebabkan
oleh perubahan yang sangat cepat dalam semua aspek kehidupan, banyak orang yang
merasakan membutuhkan sesuatu untuk di pegang dengan kuat. Tidaklah heran jika
hampir semua ajaran keagamaan bangkit kembali dengan berbagai cara dan bentuk.
4.
Hubungan agama terhadap pembangunan
Agama sebagai unsur esensi pembangunan dalam membentuk
keperibadian manusia yang positif secara
individu dan juga bermasyarakatselama kebenarannya masih di yakini secara
mutlak.
Sehubungan dengan hal-hal tersebut maka di tinjau
psikologi terhadap peran agama dalalm kaitannya dengan pembangunan uamt sebagai
individu maupun anggota masyarakat akan dapat memberikan bahan masukan yang
penting.
Mukti Ali mengemukakan bahwa peran agama dalam
pembangunan adalah:
1.
Sebagai
etos pembagunan
Maksudnya yakni bahwa agama yang menjadi anutan
seseorang atau masyarakat jika di hayati dan di yakini secara mendalam.
Selanjutnya nilai moral tersebut akan memberikan garis-garis pedoman tingkah
laku seseorang dalam bertindak, sesuai dengan ajaran agamanya. Segala bentuk
perbuatan yang di larang agama di jauhi dan sebaliknya selalu giat dalam
menerapkan perintah agama, baik dalam kehidupan pribadi maupun kehidupan orang
banyak.
Segala bentuk perbuatan individu maupun masyarakat
selalu dalam satu garis yang serasidengan peraturan dan aturan agama dan
akhirnya akan terbina suatu kebiasaan dan perilaku yang agamis. Kebiasaan dan
perilaku yang agamis dapat di jadikan sebagai etos pembangunan.
2.
Sebagai
motifasi perkembangan
Ajaran agama yang sudah menjadi keyakinan mendalam
akan ,emdapat dorongan seseorang atau kelompok untuk mengejar tingkat kehidupan
yang lebih baik. Pengalaman agama tercermin dari pribadi yang berpartisipasi
dalam peningkatan mutu kehidupan tanpa imbalan materi.
Peranan positif ini telah membuahakan hasil yang
konkrik baik dalam pembangunan fisik berupa pembangunan sarana prasarana yang
di butuhkan, sumbangan harta benda dan hak milik untuk kepentingan masyarakat
yang berlandaskan ajaran agama telah banyak di nikmati dalam pembangunan,
misalnya:
1.
Menghibahkan
atau mewakafkan tanah untuk pembangunan jalan, jembatan, rumah sakit dan sarana
prasarana lainnya
2.
Penggunaan
dana untuk pembangunan lembaga pendidikan, rumah ibadah, panti asuhan, dan
lain-lain
3. Pengarahan yang terkordinasi oleh pemuka agama dalam
membina kegotong royongan.
C.
JENIS - JENIS PENYAKIT JIWA
- Waswas
At-Tustari
menyampaikan kepada kita mengenai hakikat waswas. Beliau berkata bahwa
“memikirkan perkara yang telah lalu, berupa janji dan ancaman, jika tidak di
buat-buat tidak di katakana waswas.”[6]SElanjutnya,
ia berkata bahwa memikirkan segala sesuatu selain Allah adalah kewaswasan.
Setiap orang yang hanya tertuju pada dunia tidak akan selamat dari rasa waswas.
Dari ungkapan
beliau tersebut, kita dapat menggungkapkan bahwa, sumber timbulnya rasa was-was
tersebut ialah dari jiwa yang selalu meniru ke pada hal-hal yang kejelekan atau
keburukan, At-Tustari mengungkapkan bahwa rasa waswas tersebut dapat menyerang
pada saat kita sedang makan , sedang minum, member, atau dalam keadaan
menerima.
Rasa was-was ini
terbagi dalam beberapa bentuk, yakni:
1.
Waswas
yang di tumbulkan dari pemutarbalikkan kebenaran
2.
Waswas
yang di timbulkan karena luapan dan gejola syahwat
3. Waswas yang timbul dari ujaran yang di lakukan secara
tiba-tiba (khawatir), ingat keadaan yang menekan kuat, dan mengingat umpamanya
selain sholat.
Imam
Al-Samarqandi[7]
menjelaskan, mengenai tiupan-tiupan (makai’d)
setan yang menimbulkan ras waswas dalam hati manusia. Beliau juga menjelaskan
bahwa setan mendatangi manusia melalui sepuluh pintu. Pada
pintu pertama, setan datang ke pada manusia tersebut dalam bentuk rakus dan
buruk sangka. Jika manusia menghadapinya dengan rasa percaya (tsiqah) dan merasa cukup (qana’ah) pada Allah, serta meminta bantu
ke pada Allah dengan cara berdoa.
Setan
akan terkepung jika seorang hamba tersebut merasa baik sangka ke pada Allah
SWT, Percaya penuh atas katunia yang di berikannya, pemberian, serta
anugrahnya. Dengan demikian jika seorang hamba qanaah dan juga penuh syukur, setan tidak akan menggodanya.
Pada
pintu kedua, setan akan dating kepada manusia melalui pintu kehidupandan
perhiasan dunia serta agan-agan yang panjang. Jika seorang hamba menghadapinya
dengan rasa zuhud pada Allah, dan selalu berpikir bahwa sepanjang apapun umur
di dunia ini, kematian akan menghampirinya.
Pintu
ketiga yakni setan menghampiri manusia dari pintu rasa senang, satai, cenderung
pada yang lebih mudah dan senang pada kenikmatan dunia. Cara mengobati jiwa
yang terkena penyakit teresebut dengan melakukan mujadalah zuhud pada kesenang,
sadar terhadap rasa malas dan bersenang-senang.
Pintu
ke empat ini setan menghembuskan rasa was-was kepad manusia melalu pintu ujub
dan ketertipuan. Dengan cara setan menampakkan perilaku manusia tersebut
terlihat bagus padanya. Kemaksiatan di jadikan keindahan bagianya, jika seorang
manusia menghadapi rasa tersebut maka, manusia tersebut harus memiliki rasa
takut akan siksa dan membentengi diri serta meminta bantu ke pada Allah.
Pintu
kelima, setan mesuk kedalam manusia untuk menghembuskan ke waswasam dengan
menganggap enteng dan rendah orang lain serta merasa di atasnya. Jika seseorang
telah terserang oleh godaan setan ini, maka manusia tersebut memenuhi kewajiban
dirinya terhadap orang lain dalam bentuk keagamaan, memahami hak yang perlu di
penuhinya, dan menjaga kehormatannya.
Pintu
keenam, yakni setan dating ke pada manusia pintu hasud dan dengki kepada orang
lain. Sorang hamba harus berlindung dari rasa waswas ini dengan cara memiliki
sikap adil dan pada bagian yang telah di tetapkan Allah pada hamba-hambanya.
Pintu
ke tujuh, setan masuk melalui pintu riya. Riya merupakan sesutau perkara
kemusyikran yang terselubung. Setan kadang melebih-lebihkan bentuk amal pada
seorang hamba dengan menjadikan seorang hamba tersebut terasa tersenjung dengan
pekerjaannya. Setan menjadikan sang hamba merasa tersanjung dengan
pekerjaannya. Setan menimbulkan rasa syukur terhadap kebaikannya dna memuji
akhlaknya. Pintu ini merupakan pintu yang sangat rawan jika seorang hamba tidak
menguncinya dengan pintu keikhlasan. Cara terhindar dari godaan ini yakni
dengan mendahulukan orang lain, rendah hati
(tawadhu), menyalahi hasrat, dan juga
menghidarkan diri dari persoalan yang dapat menjerumuskan pada perangkat iblis.
Pintu
kedelapan, di mana setan dating kepada manusia dari pintu kekikiran yang
merupakan watak primordial manusia dan pintu hasrat (hawa) yang merupakan kecendrungan jiwa. Jika seorang hamba tidak
melawan rasa waswas ini, setan akan menekan dan menjatuhkannya. Oleh sebab itu,
jika seorang hamba yang telah terjerat pada pintu ini maka selalu berpikir apa
yang ada pada tangan makhluk akan musnah.
Pada
pintu kesembilan, setan menghembuskan kewaswasan pada manusia melalui pintu
ketakaburan. Penyakit takabur merupakan penyakit yang sangat tercela. Seorang
hamba yang terkena penyakit ini melawannya dengan tawdhu dan sadar bahwa
dirinya makhluk ciptaan Allah SWT, hanya Allah lah yang hakiki dan juga maha
sempurna.
Pintu
kesepuluh, setan datang di dada manusia untuk menghembuskan rsa waswas padanya
dari pintu ketamakan. Seorang hamba membentengi pintu tersebut dengan
memangkasa dunia dan percaya sepenuhnya kepada Allah.
Menurut
Al-Muhasibi “jika pengetahuanmu sempurna dalam mengetahui genderang permusuhan
setan, pengetahuanmu akan mendorong dirimu untuk memeranginya. Jadikan kenikmatan yang engkau rasakan untuk
mematahkan permusuhan setan. Cintai lah tuhanmu, jika engkau memenuhi
jiwamudengan mencintai ke pada tuhanmu , engkau akan menemukan rasa lezat menyalahi
keinginan setan lebih besar dari pada mengikuti kehendakya. Jika seorang hamba
memalingkannya dengan dzikir niscaya akan sirna.
2.
Marah
Marah merupakan kekuatan setan yang di titipkan Allah
ke pada manusia. Menurut Al-hakim At-Tirmidzi
berkata “ketika marah sedang naik, ia bagaikan awan yang naik berada di antara
dua mata hati sehingga melelehkan akal[8].
Akal terdapat di bagian luar marah tersebut, yakni di bagian mulut dan dada.
Rasa amarah ini
di timbulkan karena perasaan seorang hamba yang tenang dengan keadaan dan
kekuatannya. Jika ketentraman sang hamba di kembalikan ke pada Allah, bukan
pada keadaan kekuatannya, ia akan sadar pada kelemahan sehingga ucapannya
merupakan kelembutan dan kasih sayang.
Beberapa sebab terjadinya amarah ialah rasa sombong,
ujub, riya, keras kepala,senang bergurau, dan juga menyepelekan orang lain sehingga
akibat yang di timbulkan dari rasa amarah ini ialah rasa dengki, hasud, dan
sakit. Menurut miskawih, rasa amarah ini akan berpengaruh terhadap fisik dan
juga akal manusia[9].
Hakikat amarah ini yakni merupakan gerakan jiwa yang
di timbulkan bergolaknya hasrat untuk menyiksa orang lain, sehingga di harapkan
orang yang memiliki penyakit amarah ini sering melakukan tepai riyadah nafsiyah latihan ke disiplinan
kejiwaan, di antara cara yang paling tepatnya ialah membiarkan orang yang merah
tersebut hingga jiwanya pulih, hilang bekas amarahnya, dan jiwanya kembali
tenang
3.
Takabur
Dari Al- Raghib Al-Ishfahani berkata , “Kibr, takabur, dan istikbar adalah tiga
kata yang memiliki kesamaan makna. Kibr (takbur) merupakan keadaan seseorang
yang takjub akan dirinya sendiri[10]
Dalam kitab Al-Washaya,
Al-Muhasibi berkata, “hati-hatilah kalian kepada Allah jika kalian menganggap
remeh orang lain dan menolak kebenaran jika di sampaikan ke pada kalian,
sesungguhnya Allah memebenci dan meremehkan orang-orang yang takabur.
Al-Muhasibi menyebutkan bahwa rasa tawadhu merupakan
obat yang dapat menghilangkan rasa takabur seseorang. Selain mengetahui dirinya
butuh ke pada Allah SWT. Jika seseorang tersebut mengetahui dirinya sangat
butuh dan rendah, ia akan menerima segala sesuatu yang datang dari tuhannya dan
akan menganggap betapa agung nikmat dari tuhannya.
4.
Ujub
Ujub secara bahasa yakni sombing (zhw) sedangkana menurut istilah ialah orang yang sombong dengan
sesuatu yang datang darinya, baik berupa kebaikan dan keburukan[11].
Ujub merupakan penyakit dan perasaan yang tercela, ujub dapat menyebabkan buta
hati manusia sehingga menganngap semua perbuatannya tersebut kebaikan.
Ada beberapa hal yang menyebabkan seseorang itu ujub
1.
Karena
kecantikannya
2.
Karena
akalnya
3.
Karena
keturunan
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari pembahasan
di atas dapat di simpulkan bahawa agama dan kesehatan mental sangat berkaitan
erat dan juga salig berhubungan. Tanapa adanya agama kesehatan pada diri
seseorang itu akan terasa kurang, banyaknya penyakit yang tidak dapat di
sembuhkan oleh medis membaut konsep agam dalam menyembuhkannya memebuat agama
tersebut berperan penting dalam pengobatannya.
Dalam konsep
pengembangannya pengobatan terhadap kesehatan agama ini di landasi berdasarkan
konsep hamba ke pada tuhannya, sehingga membuat seorang hamba tersebut tetap
taat ke pada tuhannya dan menjalakan ajaran dari tuhannya.
Dengan
mengetahui dari penyakit psikologi ini dan hubungannya ke pada agama, membuat
kita akan tetap semakin taat dan beriman ke pada Allah dan menjadikan ibadah ke
pad atuhan atau kedekatan seorang hamba itu ibadah sekalian obat terhadap
penyakit yang di drita seotang hamba tersebut
[1] A. Faruq Nasutioan, Thibburruhany atau
Faith-Heeling Psikology Imam dalam Kesehatan Jiwa dan Badan n,Jakarta : Publik
Komunikasi Ilmiah Ulum Eldine, Cet. I, 1976, hal. 32.
[10] Al-Raghib
Al-Ishfahani, Almufaradat fi Gharib Al-Quran, Kairo:Musthafa Al-Bai Al-Halbi,
hlm.421
0 Response to "AGAMA DAN KESEHATAN MENTAL"
Post a Comment